Film Pengepungan di Bukit Duri (2025) menghadirkan gambaran suram tentang Jakarta dalam sebuah alternate reality di mana Reformasi 1998 gagal, dan ibukota terjerumus dalam kekacauan politik serta kerusuhan rasial. Melalui lensa sosiologi, film ini bukan sekadar fiksi, melainkan cermin tajam atas ketegangan sosial yang masih tersisa di Indonesia.
Jakarta yang Terpecah: Kekerasan dan Diskriminasi
Film ini menggambarkan Jakarta sebagai kota yang terbelah oleh konflik horizontal, terutama menyasar komunitas Tionghoa sebagai kelompok yang paling menderita. Adegan-adegan kekerasan dan penggusuran paksa mengingatkan pada trauma masa lalu, seperti kerusuhan Mei 1998. Dari perspektif sosiologis, film ini mengangkat pertanyaan penting: Bagaimana jika sejarah mengambil jalan yang berbeda?
Revolusi yang Gagal: Kritik terhadap Kekuasaan
Dalam narasi film, rezim otoriter tetap berkuasa, dan demokrasi tidak pernah benar-benar terwujud. Hal ini menjadi metafora atas ketakutan akan kembalinya kekuasaan represif. Film ini mempertanyakan: Seberapa kuat sebenarnya demokrasi kita? dan Apakah masyarakat Indonesia benar-benar bebas dari bayang-bayang kekerasan negara?
Isu Rasial dan Trauma Kolektif
Bagi penonton Tionghoa-Indonesia, film ini mungkin terasa seperti trigger, karena menghidupkan kembali memori kelam diskriminasi dan kekerasan rasial. Namun, justru di situlah kekuatan film ini—ia memaksa kita untuk tidak melupakan sejarah dan terus waspada terhadap potensi konflik serupa.
Film sebagai Medium Kritik Sosial
Pengepungan di Bukit Duri bukan sekadar hiburan, melainkan wake-up call. Ia mengajak penonton untuk merefleksikan:
-
Ketimpangan sosial yang masih nyata di Jakarta
-
Bahaya politik identitas yang bisa meledak kapan saja
-
Ketahanan masyarakat dalam menghadapi represi
Kesimpulan: Perlunya Dialog Terbuka
Film ini mungkin berat, tetapi justru karena itulah ia penting. Daripada menghindari isu sensitif, lebih baik kita menjadikannya bahan diskusi—bagaimana mencegah distopia seperti ini menjadi kenyataan.